Kepemimpinan Perempuan dalam Perspektif Islam

| |


I. Pendahuluan
Ketika berbicara mengenai perempuan di dalam Islam, sebagian besar orang menyangka bahwa kita akan membicarakan sebuah persoalan yang terpisah. Padahal kenyataannya di dalam Islam tidak seperti itu. Perempuan dan laki-laki tidak dibedakan sedemikian rupa yang mengesankan bahwa perempuan adalah entitas lain yang berbeda dengan laki-laki. Di dalam Islam seluruh manusia adalah sama, baik ia seorang laki-laki atau pun perempuan. Mereka adalah kelompok makhluk Allah yang sejajar dan satu tingkatan. 

Laki-laki dan perempuan sama di hadapan hukum dan tanggung jawab sebagaimana tingkat kemanusiaannya yang juga sama. Hanya saja, dalam beberapa keadaan dan tuntutan tertentu perempuan berbeda dengan laki-laki. Hal ini sesuai dengan fitrah alamiah dan hikmah Allah dalam ciptaannya yang beraneka ragam dan mempunyai keunikan tertentu di alam semesta.

Diantara keinginan Allah dalam hal hukum khusus bagi perempuan adalah masalah kepemimpinan. Hal ini juga yang menjadi sasaran yang digunakan oleh musuh Allah dalam memojokkan Islam. Tuduhan bahwa Islam tidak adil dan merugikan manusia yang berjenis kelamin perempuan sering dilontarkan. Salah satunya dalam hal hak wanita untuk menjadi pemimpian. 

Bagaimana sesungguhnya posisi perempuan dalam hak kepemimpinan. Benarkah seperti yang dituding oleh orang-orang yang menamakan diri mereka pejuang hak perempuan. Hal inilah yang berusaha penulis teliti dan tuangkan dalam karya ilmiah ini. 


II. Pembahasan
A. Hadits tentang larangan perempuan menjadi pemimpin negara
1. Kajian sanad hadits. 
حدثنا عثمان بن الهيثم حدثنا عوف عن الحسن عن أبي بكرة قال  : لقد نفعني الله بكلمة سمعتها من رسول الله صلى الله عليه و سلم أيام الجمل بعد ما كدت أن ألحق بأصحاب الجمل فأقاتل معهم قال لما بلغ رسول الله صلى الله عليه و سلم أن أهل فارس قد ملكوا عليهم بنت كسرى قال ( لن يفلح قوم ولوا أمرهم امرأة )
Hadits ini diriwayatkan oleh satu orang sahabat saja secara langsung dari Rasulullah SAW yaitu Abu Bakrah ra. Hanya saja terdapat perbedaan redaksi antara yang termuat dalam kitab Sahih Bukhari dengan yang terdapat dalam Sunan Al Kubra (Sunan An Nasa’i) dan Sunan At-Tirmizi [1]. Meskipun pada tingkatan sahabat yang meriwayatkan hanya satu orang, namun telah memenuhi syarat hadits sahih. Jadi, hadits ini berstatus hadits sahih dan dapat diambil sebagai dalil.[2]
2. Kajian matan hadits

a. Analisis bahasa
Ada beberapa persoalan bahasa yang mesti diperhatikan karena akan berpengaruh penetapan hukum yang dikandung oleh hadits ini.
1.  Terdapat kaidah yang mengatakan bahwa  [3]النَّكِرَةُ فِيْ سِيَاقِ النَّفْيِ تُفِيْدُ الْعُمُوْمَ
Bila kita cermati, maka kaidah dapat diterapkan pada hadits ini karena lafazh (قَوْمٌ) dan (امْرَأَةً) termasuk isim nakirah yang jatuh setelah lan yang bermakna nafyi  (لَنْ يُفْلِحَ), berarti menunjukkan arti umum.
2. Selanjutnya terdapat kaidah lain yang menyebutkan bahwa الْعِبْرَةُ بِعُمُوْمِ اللَّفْظِ لاَ بِخُصُوْصِ السَّبَبِ[4]. Dari sini dipahami bahwa yang dimaksud dalam hadits ini adalah setiap wanita.
3. Kata-kata ولوا أمرهم
 atau dalam riwayat lain امرأة تملكهم[5] menunjukkan bahwa yang dimaksud dalam hadits ini adalah kepemimpinan tertinggi seperti presiden, raja, khalifah, dan yang kedudukan dan fungsinya setara dengan itu.

b. Asbabul wurud
Hadits ini dimuat oleh Imam Bukhari dalam bab yang sama dengan hadits yang menyatakan keruntuhan imperium Persia.[6] Imam Ibnu Hajar menyatakan bahwa hadits ini merupakan isyarat Rasulullah mengenai akhir kisah yang akan dialami oleh kerajaan Persia yaitu runtuhnya kerajaan itu setelah mereka menyerahkan tahta kepada perempuan. Anak perempuan kisra[7] yang mereka nobatkan menjadi ratu itu adalah Buran binti Syirweh bin Kisra bin Berwiz. Syirweh membunuh ayahnya (yaitu Kisra pada saat itu) setelah membunuh saudara-saudaranya sambil berharap mendapatkan tahta kerajaan. Namun Kisra sebelum meninggal telah mengetahui gelagat buruk anaknya. Ia telah menyusun muslihat agar anaknya juga terbunuh setelah kematiannya. Ia meninggalkan petunjuk-petunjuk tipuan yang pada akhirnya menghancurkan Syirweh. Orang-orang Persia tidak rela jika tahta kerajaan dipindahtangankan kepada orang luar istana. Pada akhirnya ditunjuklah anak perempuan Syirweh yang menjadi ratu mereka.

Dalam syarahnya terhadap hadits ini, Imam Ibnu Hajar juga menyebutkan bahwa Ashabul jamal yang dimaksud oleh abu bakrah adalah Aisyah ra dan orang-orang yang mendukung beliau. Peristiwa yang dikenal dengan perang Jamal ini terjadi setelah terbunuhnya Usman bin Affan ra dibaiatnya Ali ra menjadi khalifah. Talhah dan Zubair yang berangkat ke mekkah bertemu dengan Aisyah yang baru saja selesai melaksanakan haji. mereka sependapat bahwa pembunuh Usman sebaiknya diusut terlebih dahulu. Bersama sekumpulan kaum muslimin yang juga sependapat, mereka lalu bertolak menuju Bashrah, pusat kekhalifahan pada waktu itu. berita ini sampai kepada Ali dan Ali pun menemui mereka. namun dengan massa yang banyak beserta keyakinan yang dipegang oleh masing-masing kubu, pertempuran tak dapat dielakkan. Sedangkan Aisyah dari atas tendanya terus menyerukan perdamaian. Disebut perang jamal (onta) karena Aisyah pada saat itu menunggangi unta. Abu Bakrah teringat dengan hadits ini sehingga beliau tidak ikut serta terlibat dalam peperangan tersebut.  

3. Ayat-ayat dan hadits yang berkaitan dengan hadits

4. Kandungan hadits
Dalam hadits ini Rasulullah secara eksplisit menafikan kemenangan dan keberuntungan bagi kaum yang menyerahkan kepemimpinan kepada perempuan. Artinya, jika keberuntungan tidak menyentuh mereka, hanya kemerosotan dan kelemahanlah yang akan ditemui[8]. Dalam kaidah pengambilan hukum, redaksi teks yang seperti ini menunjukkan adanya larangan. Akan tetapi, apakah larangan yang dimaksud oleh syariat meliputi semua bentuk jabatan dan di semua tingkat? Jika memang seperti itu, apakah perempuan sama sekali tidak boleh memegang tanggung jawab kepemimpinan, perwalian, perwakilan, dan kekuasaan apapun secara mutlak?
Di dalam hadits ini memang terdapat larangan. Namun tidak bersifat mutlak. Jabatan yang tidak diperbolehkan ditempati oleh perempuan hanyalah jabatan umum tertinggi setara presiden. Konklusi ini dapat dipahami setelah mencermati pernyataan-pernyataan berikut :  

1. Petunjuk dari internal hadits.
Menurut para ulama, termasuk Dr. Yusuf Qardhawi, hadits ini merupakan dalil tidak diperbolehkannya seorang perempuan menjadi pemimpin negara secara khusus atau yang setara kedudukan, fungsi, dan tanggung jawabnya dengan posisi ini. jabatan khalifah atau presiden dikhususkan untuk laki-laki[9] [10] Hal ini dapat dipahami dari konteks ketika munculnya hadits ini. Hadits ini muncul ketika sampai kepada Rasulullah kabar bahwa bangsa Persia telah mengangkat seorang perempuan sebagai pemimpin tertinggi mereka. Kaidah bahasa juga mengindikasikan makna tersebut. Kondisi keberadaan sebuah kaum yang menyerahkan semua urusan (ولوا أمرهم) dan berada dibawah kendali perempuan hanya jika ia berada di posisi tertinggi.

2. Petunjuk dari eksternal hadits.
Konsensus ulama menyatakan bahwa kepemimpinan dan perwalian secara mutlak tidak dilarang bagi perempuan. Kebolehan mutlak memegang jabatan bagi perempuan, dengan adanya hadits ini, dikecualikan pada posisi presiden, khalifah, dan yang setara dengan itu. ada beberapa poin yang menjadi dalil bolehnya perempuan memimpin, diantaranya[11];
·      Perempuan boleh menjadi pelaksana wasiat anak kecil dan orang yang lemah akal.  
·      Perempuan boleh menjadi wakil sebuah komunitas dalam hal pengelolaan harta, perkebunan, dan lain-lain.
·      Perempuan boleh menjadi saksi. Kesaksian merupakan salah satu bentuk perwalian sebagaimana dijelaskan oleh para ahli fiqih.
·      Abu Hanifah membolehkan perempuan menempati posisi kehakiman. Posisi ini juga merupakan bentuk kekuasaan.

3. Hal-hal yang menyebabkan tidak diperbolehkannya perempuan memegang jabatan tertinggi[12].
·         Di dalam Islam, kepala negara adalah seorang pemimpin pemikir, representasi dari kaumnya dan yang berbicara atas nama kaumnya. Kemaslahatan dan keadaan bahaya orang banyak berada di tangannya.  Oleh karena itu, dialah yang memutuskan perang, perdamaian, perjanjian, serangan, dan sebagainya setelah memusyawarahkannya dengan ahlul halli wal ‘aqdi[13]. Selanjutnya dia juga yang memimpin pertempuran di medan perang.
·         Pemimpin negara juga berkewajiban mengimami shalat jumat di masjid, menjadi imam shalat fardu, memutuskan persengketaan (jika ia mempunyai waktu luang). Sedangkan perempuan tidak diwajibkan melaksanakan shalat jumat, mempunyai waktu-waktu tertentu yang tidak bisa melaksanakan shalat, dan sebagainya.
Setelah melihat beratnya tanggung jawab dan fungsi yang dijalankan oleh seorang pemimpin negara dan adanya beberapa fungsi yang tidak dapat dijalankan oleh perempuan, semakin jelas bahwa posisi pimpinan tertinggi, khalifah, dan sejenisnya adalah khusus bagi laki-laki. Hal ini tidak ada hubungannya dengan merendahkan derajat kemanusiaan perempuan dan kemampuannya, akan tetapi Rasulullah menetapkan ini demi kemaslahatan seluas-luasnya bagi umat, menghargai karakter perempuan yang alamiah, dan menegakkan kehidupan sosial yang kuat dan tangguh.
            Selanjutnya terdapat pertanyaan apakah hadits ini juga menunjukkkan larangan perempuan memegang jabatan lain di wilayah publik yang berarti ia memimpin laki-laki. Dalam hal ini penulis akan memaparkan kebolehan perempuan menjadi pemimpin di masing-masing posisi kepemimpinan; baik eksekutif, legislatif, maupun yudikatif.

1. Pemilihan perempuan di majelis perwakilan
Di dalam Islam, setiap hukum yang ditetapkan meliputi laki-laki dan perempuan selama tidak ada dalil secara teks yang mengkhususkan salah satu diantara keduanya. Hal ini menjadi kaidah dasar yang mesti diperhatikan. Adapun mengenai diangkatnya perempuan sebagai wakil, tidak ada larangan dalam al-Quran maupun sunah yang melarang hal itu. Islam memperbolehkan perempuan menjadi wakil dari individu maupun kelompok. Majelis perwakilan mulai dari tingkat rendah hingga ke tingkat negara pada hakikatnya adalah perwakilan seperti yang dimaksud di atas[14].
            Islam mengajarkan umat muslim untuk memperhatikan pembangunan masyarakat, mengadakan perbaikan di dalamnya, menjaga kemaslahatan umum, membentuk masyarakat yang senantiasa memperhatikan hal-hal yang diperbolehkan dan dilarang oleh Allah. Hal inilah yang secara istilah agama disebut dengan amr ma’ruf nahi munkar. Ini adalah kewajiban umat secara umum, tanpa membedakan laki-laki dan perempuan. Allah SWT berfrman (Attaubah 71) oleh karena itu, terlibatnya perempuan dalam menegakkan amr ma’ruf nahi munkar merupakan sebuah kemestian. Apalagi melihat bahwa orang-orang munafik dan musuh-musuh Islam lainnya, kaum perempuan mereka berada dalam satu barissan yang terorganisir bersama para laki-laki untuk memperjuangkan kemungkaran[15]. Jika kondisinya seperti itu, tentu saja kaum muslimah lebih dituntut untuk memaksimalkan perannya bersama dengan muslim laki-laki[16].
            Perwakilan dalam parlemen atau sejenisnya mempunyai dua fungsi yaitu membentuk undang-undang dan fungsi pengawasan. Mengenai fungsi pembentukan undang-undang (tasyri’), tidak ada larangan perempuan menjadi penyusun undang-undang. Yang dibutuhkan dalam hal ini adalah ilmu. Tidak ada perbedaan antara permepuan dan laki-laki dalam hal ini. bahkan, sejarah telah mencatat banyak ahli hadits, fiqih, dan cabang ilmu lainnya dari kalangan perempuan. Sedangkan mengenai fungsi pengawasan, hal ini telah diisyaratkan oleh ayat yang disebutkan di atas[17] [18].
            Mereka yang menentang bolehnya perempuan duduk di legislatif pada umumnya beralasan bahwa dengan perempuan memegang jabatan itu berarti ia menjadi pemimpin bagi laki-laki. Sedangkan al-Quran menegaskan bahwa laki-laki adalah pemimpin perempuan. Allah SWT berfirman: (annisa 34) Pendapat ini dapat dibantah dengan argumen berikut:
·         Jumlah perempuan yang ada di parlemen akan selalu lebih banyak dari laki-laki. Mereka yang mayoritas inilah yang yang sesungguhnya ‘memiliki’ keputusan. Oleh karena itu, dengan terpilihnya perempuan sebagai anggota parlemen tidak dapat dikatakan bahwa perempuan menguasai laki-laki. Perlu dipahami bahwa di dalam parlemen seorang perempuan bukan menjadi pemimpin secara personal. Perempuan hanya mengambil satu bagian dari peran keseluruhan peran legislatif bersama dengan anggota laki-laki yang ada di dalamnya. Kepemimpinan dalam parlemen adalah atas nama lembaga. Satu orang individu anggota sesungguhnya tidak mempunyai hak apapun ketika ia hanya berdiri sendiri.
·         Dalil tentang kepemimpinan laki-laki atas perempuan di dalam ayat ini hanya dalam lingkup rumah tangga. Laki-laki adalah pemimpin dalam rumah tangga. Ia yang bertanggung jawab atas keluarganya. Kata-kata (bima anfaqu) menunjukkan hal tersebut karena kewajiban nafkah adalah dalam rumah tangga. Inilah satu derajat lebih tingginya posisi laki-laki dari istrinya seperti yang terdapat dalam firman Allah ta’ala (Al baqarah 228)[19]. Dengan demikian, sebenarnya ini menunjukkan tanggung jawab laki-laki dan terjaminnya perempuan dalam hal nafkah.
Kepemimpinan dan tanggung jawab dalam rumah tangga sebagi konsekuensi dari ditetapkannya kewajiban nafkah atas suami bukanlah penguasaan yang bersifat tirani. Hal ini diisyaratkan oleh ayat lain yang menyatakan bahwa  peran suami sebagai pemimpin juga mencakup pengajaran dan bimbingannya atas istri dan anak-anaknya. Allah SWT berfirman: (at-tahrim:6)
Di dalam keluarga, kepemimpinan yang diinginkan adalah kepemimpinan secara terorganisir yang tanpanya kemaslahatan hidup tidak akan berjalan dengan baik. Sudah merupakan fitrah bahwa satu perkumpulan, keluarga termasuk di dalamnya, harus memiliki pemimpin yang akan mengatur urusannya. Jika tidak kehidupan manusia akan kacau. jika kita menganalogikan rumah sebagai lembaga keuangan atau lembaga pendidikan maka ia harus memiliki pemimpin yang akan mengatur segalanya. Dalam hal ini, ada beberapa alternatif pilihan[20] :
·         suami istri sama-sama menjadi pemimpin dalam rumah tangga. Hal ini akan menimbulkan kerusakan karena terjadi benturan.
·         Kepemimpinan tidak dipegang oleh suami maupun istri. Dengan begitu tentu saja rumah tangga akan kacau.
·         kepemimpinan dipegang oleh perempuan. Alternatif ini tidak dapat diterima oleh fitrah dan logika, bahkan si perempuan pun tidak bisa menerimanya.
·         laki-laki sebagai pemimpin dan inilah alternatif yang paling baik karena ia lebih tau hakikat suatu maslahat dan mampu menjalankannya dengan kekuatan dan hartanya. Adalah tugas pria untuk menafkahi wanita.
Dengan demikian, diperbolehkannya perempuan menduduki jabatan dalam majelis perwakilan tidak bertentangan dengan ayat tentang laki-laki sebagai pemimpin perempuan.
2. Bolehkah perempuan menjadi menteri dan semacamnya?
Di lapangan eksekutif, perempuan dilarang menjadi pemimpin tertinggi sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya. Namun, bagaimana dengan posisi menteri dan sejenisnya yang bukan kepemimpinan tertinggi dalam sebuah negara? Mengenai hal ini Muhammad Balthaji dalam bukunya mengatakan bahwa tidak ada dalil yang melarang perempuan menduduki posisi ini jika ia memang berkompeten dengan ilmu dan pengalamannya. Adanya pertemuan antara laki-laki dan perempuan untuk kepentingan tertentu dapat dilihat dari banyak hadits Rasulullah SAW. Hadits-hadits itu juga menunjukkan partisipasi perempuan di wilayah publik pada masa itu. Benar bahwa Rasulullah tidak pernah menempatkan perempuan pada jabatan tertentu semasa hidup beliau. Namun, hal ini (adamul wuqu’) bukan berarti larangan. Larangan ditetapkan ketika memang ada teks dalil, bukan ketidakterjadian sebuah peristiwa di masa Rasulullah SAW[21].
Namun demikian, tetap diperhatikan syarat-syarat dan batasan-batasan yang telah digariskan oleh Islam. Hal-hal yang mesti diperhatikan misalnya kesanggupannya untuk tetap melaksanakan kewajiban dalam rumah tangga. Tugasnya sebagai istri dan ibu di dalam rumah tidak boleh terlalaikan ketika ia menduduki jabatan tersebut. Selain itu, mesti diperhatikan juga adab-adab antara laki-laki dengan perempuan seperti larangan berkhalwat dan sebagainya. Juga termasuk di dalamnya kewajiban adanya mahram ketika berpergian ke luar negeri, dan sebagainya[22].
Orang orang yang tidak setuju dengan pendapat ini mengemukakan dalil bahwa perempuan wajib selalu berada di rumahnya sebagaimana yang terdapat dalam surat al-Ahzab:28 (          ).  Namun ayat ini sesungguhnya ditujukan kepada para istri Rasulullah SAW dan menjadi hukum khusus bagi mereka sebagaimana konteks ayat tersebut hingga akhir ayat ke-34.
3. Bolehkah perempuan menduduki jabatan kehakiman?
Para ulama berbeda pendapat mengenai hal ini dengan perdebatan yang cukup panjang. Sebagian besar ulama berpendapat bahwa sebuah hukum dan kehakiman sah jika hakimnya dalah laki-laki. Alasannya adalah bahwa wilayah kehakiman dikiaskan dengan kepemimpinan tertinggi. Sebab lainnya adalah bahwa kehakiman mensyaratkan kesempurnakan akal dan pengalaman menghadapi permasalahan-permasalahan kehidupan secara luas. Hal ini tidak dijangkau oleh perempuan karena ia mempunyai kelemahan akal dan kurang berpengalaman. Selain itu, tugas hakim menuntut bercampur baurnya antara laki-laki dengan perempuan ketika menghadapi persengketaan, mendengarkan kesaksian, dan sebagainya.
Ulama yang memperbolehkan adalah secara mutlak adalah Ibnu Jarir at-Thabari dan Ibnu Hazm. Sedangkan Abu Hanifah memperbolehkan perempuan menjadi hakim dalam urusan harta (perkara sipil) karena kesaksian perempuan dapat diterima dalam hal muamalah, berbeda dengan hudud, perkara kriminal, dan hukuman.
Namun, pendapat jumhur ulama yang menyamakan antara kehakiman dengan kepemimpina tertinggi sebuah negara adalah kias yang sangat jauh sekali[23]. Adapun mengenai lemahnya akal perempuan terdapat beberapa penafsiran sebagaimana yang telah dijelaskan pada bab khusus tentang hal ini. selanjutnya, tidak berpengalamannya perempuan bukanlah sifat yang melekat pada diri perempuan karena posisi keperempuanannya. Pengalaman dan kecakapan adalah hal yang dapat dipelajari. Mengenai bercampur baurnya perempuan dengan laki-laki untuk hal yang diperlukan seperti mendengarkan kesaksian, menyelesaikan sengketa adalah hal yang tidak ada larangannya. hal ini sebagaimana para muslimah di zaman Rasulullah juga bertemu dengan laki-laki dalam majelis ilmu, haji, jihad, bertamu, mengunjungi orang sakit dan interaksi lainnya di luar rumah.
5. Menjawab syubhat seputar kepemimpinan perempuan
            Hadits-hadits mengenai perempuan sering menjadi objek kritik yang dilancarakan oleh mereka yang mengusung kesetaraan gender, feminis, pejuang hak asasi manusia, dan sebagainya. Para feminis ini sering mengungkapkan bahwa perbedaan hanyalah dalam hal menstruasi dan melahirkan. Di luar itu, menurut mereka perempuan sama dengan laki-laki sehingga berhak mendapatkan segala kesempatan seperti laki-laki. Akan tetapi sebenranya tidak seperti itu. Perempuan dan laki-laki memang berbeda. Perbedaan hormon di dalam tubuh laki-laki dan perempuan adalah yang mempengaruhi sifat dan tingkah laku sehingga karakter dan kemampuannya juga berbeda dan memiliki kelebihan masing-masing. Hal ini tidak diterima oleh para feminis. Bagi mereka yang menyebabkan laki-laki dan perempuan dewasa berbeda adalah karena perbedaan pengasuhan oleh lingkungan, bukan perbedaan alami[24].
            Dengan pemahaman yang seperti itu mereka mulai mengkritik berbagai teks ayat dan hadits yang dianggap terlalu patriarki. Beberapa diantara kritikan itu adalah[25]:
Pertama: Haditsnya lemah
Prof. Dr. Nurcholis Majid dalam makalahnya yang dimuat di harian Jawa Pos terbitan Minggu Pahing 8 November 1998 hal. 1 tatkala mengatakan: “Hukum agama (Islam) tidak secara tegas mengatur boleh tidaknya wanita menjadi kepala negara atau kepala pemerintahan…” Lanjutnya lagi: “Memang ada hadits-hadits Rasulullah SAW yang menganjurkan jabatan kepala negara atau kepala pemerintahan semestinya dijabat oleh pria, meski begitu hadits-hadits  tersebut lemah”.
Jawaban dari pernyataan ini telah dijelaskan sebagaimana di atas.
Kedua: Haditsnya Ahad, tidak mutawatir
Sebagian lagi ada yang mementahkannya dengan alasan haditsnya hanyalah ahad seperti pernyataan Wahyuni Widyaningsih, manajer kajian pada ‘Elsad, Surabaya dalam tulisannya yang bertajuk “Presiden Perempuan di mata Islam”, dimuat dalam Jawa Pos Senin Legi 2 November 1998 hal. 4
Jawaban atas pernyataan ini juga telah dijelaskan sebagaimana di atas.
Ketiga: Kisah Ratu Balqis
Syaikh Muhammad Al-Ghazzali dalam bukunya “As-Sunnah Nabawiyyah” (hal. 50-51cet. pertama 1409 H, Dar As-Syuruq) berkomentar tentang hadits ini: “Ratu Balqis, Victoria (Ratu Inggris), Indira Gandhi (Ratu India), Golda Meir (Ratu Yahudi) telah memimpin bangsa mereka tapi toh mereka bahagia”.
Dr. Yusuf Qardhawi dalam Fatwa Mu’ashirah nya telah menjawab hal ini. Menurut beliau ada beberapa poin yang mesti diperhatikan dalam hadits ini.
·         Benar bahwa para ahli usul fiqh mempergunakan kaidah ‘Yang menjadi patokan adalah keumuman lafaz, bukan kekhususan sebab’ dalam menetapkan hukum. Namun hal ini tidak menjadi konsensus yang disepakati oleh seluruh ulama. Ibnu Abbas dan Ibnu Umar adalah diantara sahabat yang sangat memperhatikan asbabul wurud dan konteks hadits. Dengan melihat sebab munculnya, hadits ini sesungguhnya tidak bertentangan dengan ayat Al quran mengenai kepemimpinan Ratu Bilqis[26]di dalam al-Quran.
·         Para ulama telah sepakat bahwa yang dimaksud dalam hadits ini khusus pemimpin tertinggi dalam sebuah negara.
·         Kebanyakan wanita yang diberi jabatan sesungguhnya bukanlah jabatan tertinggi sebuah negara. Akan tetapi hanya sebuah lembaga bersama dengan para laki-laki di dalamnya[27].
Namun terdapat pemahaman lain yang mengatakan bahwa ayat al-Quran mengenai Bilqis berbicara tentang ratu negeri kafir. Di dalam penetapan hukum, syariat sebelum Rasulullah Muhammad SAW tidak menjadi landasan yang disepakati. 
Keempat: Sebab Penuturan Hadits.
Sebagian lagi beralasan dengan latar belakang penuturan hadits seperti dinyatakan oleh Dr. Said Aqil Siradj, katib Am  PBNU dalam tulisannya yang bertajuk “Pro dan Kontra Presiden Wanita”, dimuat dalam Jawa Pos terbitan Sabtu 21 November 1998 dan juga Dr. Alwi Shihab, Staf pengajar lulusan Universitas Harvard USA sekaligus ketua PKB dalam tulisannya yang bertajuk “Memperhatikan Prinsip daripada Label”, dimuat dalam Jawa Pos terbitan Selasa 17 November 1998
Maksudnya, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengucapkan sabdanya tersebut karena memang ketika itu kondisi negeri Persia dalam keadaan bobrok dan menyerahkan kepemimpinan kepada seorang anak perempuan muda yang tidak tahu apa-apa. Seandainya situasi politik waktu itu aman dan pemimpin putri tersebut cerdas, tentu komentar Nabi berbeda dengan yang ada sekarang.
Jawaban atas kritikan ini adalah; Hadits ini memang menceritakan kondisi kerajaan yang hampir runtuh lalu dipimpin oleh seorang wanita yang tidak memiliki kecakapan. Namun para ulama telah sepakat bahwa yang dimaksud di sini adalah memang larangan menjadi kepala negara sebagaimana tersirat dari kata-kata ولوا أمرهم.
Kelima: Perubahan zaman seperti ungkapan ibu Juwairiyah Dahlan.
Parahnya lagi, sebagian mereka menghujat dengan alasan perubahan zaman seperti ditulis oleh Dr. Juwairiyah Dahlan, Kepala Jurusan Fak. Adab IAIN Sunan Ampel Surabaya yang dimuat dalam majalah “Al-Amin” 006/Juli-Agustus 2003 M hal. 12 -setelah menyebutkan kesepakatan ulama dan menegaskan bahwa hadits Abu Bakrah adalah shahih dari segi metodologi kritik hadits-: “Singkat kata, wanita waktu itu (pada zaman Rasul -pent) selalu berada dalam tembok-tembok suami atau orang tuanya, mereka dikurung di rumah dengan sangat ketat. Tetapi sekarang situasi banyak berubah. Wanita banyak yang pandai dan terlibat secara intens pelbagai lapangan kehidupan. Jadi mereka sudah tahu seluk-beluk masalah…”.
Jawaban dari kritik ini juga telah dijelaskan di atas.
B. Hadits kedua tentang larangan berpuasa sunnah bagi seorang istri tanpa izin suami.
حدثنا محمد بن مقاتل أخبرنا عبد الله أخبرنا معمر عن همام ابن منبه عن أبي هريرة عن النبي صلى الله عليه و سلم : ( لا تصوم المرأة وبعلها شاهد إلا بإذنه )[28]

1. Kajian sanad hadits.

Hadits ini pada tingkatan sahabat hanya diriwayatkan oleh Abu Hurairah. Syaikh Albani mengomentari bahwa hadits ini sahih dengan tanpa tambahan kata-kata ‘ramadhan’. Redaksi hadits seperti yang dituliskan di atas adalah yang terdapat dalam sahih bukhari. Jadi, hadits ini sahih dan dapat dijadikan hujjah.

2. Kajian matan hadits.

a. Asbabul wurud hadits.
Diriwayatkan oleh Ahmad, abu dawud, dan al-hakim dari hadits Abi Sa’id bahwa seorang wanita datang kepada Rasulullah SAW dan berkata: “wahai Rasulullah, sesungguhnya aku adalah istri Saafwan bin Mu’thal. Dia memukulku ketika aku shalat, menyuruhku berbuka ketika aku puasa, dan tidak pernah shalat subuh kecuali matahari telah terbit”. Safwan berada di sisi Rasulullah SAW sehingga beliau bertanya kapadanya tentang pengaduan istrinya tersebut. Dia menjawab: “adapun pernyataannya ‘dia memukulku ketika shalat’ adalah karena dia membaca dua surat padahal aku telah melarangnya. Rasulullah SAW bersabda: “Seandainya satu surat saja sudah mencukupi”. Sedangkan perkataannya ‘dia menyuruhku berbuka jika aku puasa’ adalah karena aku masih muda lagi tidak sabar”. Maka Rasulullah SAW bersabda: “janganlah seorang wanita berpuasa kecuali dengan izin suaminya”. Safwan berkata: “Adapun perkataannya bahwa aku tidak pernah shalat hingga matahari terbit’, maka sesungguhnya seluruh anggota keluarga telah mengetahui bahwa kami tidak pernah bangun kecuali setelah matahari terbit”. Rasulullah SAW bersabda: “Jika kamu bangun maka shalatlah”.[29]

b. Kandungan hadits
Hadits ini menunjukkan bahwa seorang suami boleh membatalkan puasa sunnah istrinya ketika ia sedang berada di rumah jika ia mempunyai keperluan kepada sang istri. Dari hadits ini juga dipahami bahwa boleh melarang hal yang mubah jika ditakutkan menyebabkan kebosanan dan kejemuan, dan menyebabkan melalaikan kewajiban.[30] Larangan ini bertujuan agar kesempatan suami bersenang-senang dengan istri tidak hilang. Jika dilihat hadits-hadits lain menunjukkan bahwa puasa sunnah memang boleh dibatalkan karena suatu hal tertentu. Izin yang dimaksudkan bisa secara jelas atau pun secara isyarat saja[31].
Imam an-Nawawi ketika mengomentari hadits ini mengatakan bahwa keharaman puasa sunat tanpa izin suami berdasarkan teks hadits yang dikuatkan oleh tawkid. Seorang istri mempunyai kewajiban melayani suaminya. Oleh karena itu, jika dia melakukan suatu amalan sunnah sedangkan suami memintanya hal lain, maka hak suami harus didahulukan. Hal itu karena pelayanan kepada suami hukumnya wajib dan tidak dapat dikalahkan oleh amalan sunnah. Mendapatkan kesempatan bersenang-senang dari istri adalah hak suami. Larangan ini tidak ini tidak hanya untuk puasa sunnah, tetapi juga amalan lain seperti haji sunnah. Ada kalanya hak suami atas istri bersifat wajib segera ditunaikan sedangkan hak Allah dalam amalan sunnah dapat diundur. Larangan ini pun hanya berlaku jika suami berada di rumah. Jika tidak berada dirumah atau suami sedang sakit sehingga tidak dapat melakukan hubungan seksual, maka perempuan boleh berpuasa tanpa izin[32].
Jika dicermati hadits-hadits lain, maka larangan puasa sunnah ini justru membukakan pintu pahala yang jauh lebih besar bagi para wanita. Rasulullah SAW bersabda “Pada kemaluan tiap kalian ada sedekahnya”. Para sahabat bertanya; “Ya Rasulullah, apakah seorang dari kami jika melampiaskan syahwatnya akan mendapat pahala?” Nabi menjawab: “ Bagaimana pendapatmu jika ia melampiaskannya pada suatu yang haram, bukankah ia berdosa? Maka demikian pula jika ia melampiaskannya pada pada yang halal, ia akan mendapat pahala”[33]. Bahkan pelayanan terbaik kepada suami akan memuluskan jalan perempuan ke syurga. Rasulullah SAW bersabda: “jika seorang wanita telah mengerjakan shalat lima waktu, puasa pada bulan (Ramadhan), menjaga kemaluannya (harga dirinya), dan menaati suaminya, maka dia dapat masuk surga dari pintu mana saja yang ia inginkan[34] [35].

            Penelitian terkini mengenai kehidupan rumah tangga juga menyebutkan bahwa penolakan istri terhadap suami akan berdampak buruk bagi suami dan kehidupan rumah tangga. Laki-laki secara fisiologis berbeda dengan perempuan dalam masalah seksual. Saat seorang laki-laki menginginkan hubungan dengan istrinya di dalam tubuhnya tengah terkumpul cairan yang harus dikeluarkan. Ada banyak cara untuk mengeluarkannya. Laki-laki yang telah berkeluarga akan menyalurkannya dalam hubungan suami istri. Selain itu, penolakan yang sering juga akan mengakibatkan ketidakharmonisan kehidupan suami istri. Bagi laki-laki, kehidupan seksual dengan istrinya berpengaruh besar bagi kepercayaan dirinya. Rasa dihargai, perasaan jantan, dan kemampuan membahagiakan istri adalah hal lain yang ingin didapatkan oleh laki-laki dalam hal ini. Selain itu, laki-laki menganggap hubungan yang baik dengan istri adalah bentuk komunikasi ala laki-laki[36] [37].

III. PENUTUP         
           
            Di dalam islam perempuan dilarang menjadi pemimpin negara berdasarkan hadits sahih Rasulullah SAW yang diriwayatkan oleh Abu Bakrah yang terdapat dalam Sahih Bukhari. Sementara untuk menduduki jabatan lainnya diperbolehkan. Hanya saja, untuk jabatan kehakiman masih terdapat perdebatan yang cukup panjang.

Di sisi lain berkaitann dengan kepemimpinan laki-laki dalam keluarga, ajaran Islam memang tegas dan terang-terangan dalam hal hubungan suami dengan istrinya. Ada banyak faktor yang melatarbelakangi mengapa istri dituntut untuk memenuhi keinginan suami ketika suami menginginkannya. Semuanya agar kehidupan rumah tangga sebagai unit terkecil dari masyarakat muslim berjalan dengan baik.

IV. DAFTAR PUSTAKA

Al-Quranul Karim
Abu Syuqqah, Abdul Halim, Tahrir al-Mar’ah fi ‘Ashri ar-Risalah, Dar al-Qalam, Beirut, Libanon, 2011
Abu Dawud, Sunan Abu Dawud,
Al-Asqalani , Ibnu Hajar, Fathu al-Bari fi Syarhi al-Bukhari, Dar Thaibah
Al-Qurthubi, al-Jami’ li Ahkam al-Quran, Dar al-Hadits, Kairo, Mesir, 2007
As-Siba’i , Mushtafa, al-Mar’ah baina al-Fiqh wal Qanun, Darus Salam, Kairo, Mesir, cet. I, 1998
As-Suyuthi, Tadrib ar-Rawi ala Taqrib an-Nawawi, Divisi Ma’ahid Azhariah, Kairo, Mesir, 2001-2008
Asy-syaukani, Naylul Authar, Beirut, 2000
At-Tirmizi, Sunan at-Tirmizi, Dar Kutub Ilmiah, Beirut, Libanon
Balthaji, Muhammad, Makanah al-Marah fil Quran al-Karim wa as-Sunnah as-Sahihah, Dar Salam, Kairo, 2005
Brizendine, Louann, The Female Brain, Ufuk, Jakarta, Cet II, 2007,
Ibn Ahmad, Muhammad, Ismail, Al-Mar’ah baina Takrimil Islam wa Ihanatil Jahiliyyah, Dar Khulafa ar-Rasyidin, cet. I, 2009
Ibn Ismail, Muhammad, Al-bukhari, Sahih al bukhari, Alamul Kutub, Beirut, 1986
Ibnu Hibban, Sahih Ibnu Hibban,
Ibnu Majah, Sunan Ibn Majah Dar Kutub Ilmiah, Beirut, Libanon
Megawangi, Ratna, Membiarkan Bebeda, Mizan, cet. II, Bandung 2011
Muslim, Shahih Muslim, Dar Ihya at-Turats al-Araby
Naik, Zakir, et.all, Mereka Bertanya Islam Menjawab Aqwam. Solo.
Qardhawi , Yusuf, Fatawa Mu’ashirah, Dar al-Qalam, Beirut, cet.IV, 1994
Shams, Muhammad, al-Haqq al-Azhim al-Abadi, Aun al-Ma’bud, Dar al-Hadits, 2001

Karya tulis ilmiah:
Dwi Sukmanila Sayska, Menjawab Kritikan Feminis dalam Memahami Hadits, karya tulis ilmiah

Website:
Istri Berhak Menolak Hubungan Seks (1) - Pasangan - Keluarga - Tabloidnova.com. 1 Juni 2010. 
Polemik Presiden Wanita – Abu Ubaidah Yusuf As-Sidawi.htm oktober 2010


[1] Ibnu hajar al-Asqalani, Fathu al-Bari fi Syarhi al-Bukhari, jilid 9, Dar Thaibah, hal. 580, kitab al-Maghazi, bab Kitab an-Nabi ila Kisra wa Kaisar, hadits no. 4425. Artinya; dari Abi Bakrah, ia berkata: Allah telah menyelamatkanku pada hari perang Jamal ketika aku hampir saja ikut berperang bersama mereka dengan sebuah kalimat yang pernah aku dengar dari Rasulullah SAW. Beliau melanjutkan: ketika sampai kepada Rasulullah SAW berita bahwa orang-orang Persia telah mengangkat putri Kisra sebagai ratu mereka, beliau bersabda: “tidak akan menang suatu kaum yang menyerahkan urusan mereka kepada perempuan”. Sedangkan dalam Sunan Al Kubra (Sunan An Nasa’i) dan sunan at-Tirmizi dengan redaksi yang sedikit berbeda, yaitu;عَنْ أَبِى بَكْرَةَ قَالَ عَصَمَنِى اللَّهُ بِشَىْءٍ سَمِعْتُهُ مِنْ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- لَمَّا هَلَكَ كِسْرَى قَالَ « مَنِ اسْتَخْلَفُوا ». قَالُوا بِنْتَهُ. قَالَ « لَنْ يُفْلِحَ قَوْمٌ وَلَّوْا أَمْرَهُمُ امْرَأَةً ».
An-Nasa’i, as-Sunan al-Kubra, jilid 2, Maktabah ar-Rusyd, Oman, 2006, hal. 917, kitab al-Qadha’, bab tarku isti’mali an-nisa’ ala al-hukmi, hadits no.5905.  abi isa muhammad bin isa At-Tirmizi, sunan at-Tirmizi, Dar Kutub Ilmiah, Beirut, juz 4, hal 431, kitab al-Fitan bab 41 ma jaaa iza zahaba kisra fala kisra ba’dahu,  no 2216.
[2] As-Suyuthi, Tadrib ar-Rawi ala Taqrib an-Nawawi, Divisi Ma’ahid Azhariah, Kairo, 2001-2008, hal. 62. Beliau mengutip pernyataan Imam al-Ghazali yang mengatakan bahwa riwayat satu orang perawi dari satu orang dan seterusnya yang sampai ke Rasulullah SAW adalah sahih. Dua kitab sahih (sahih bukhari dan muslim) memang memuat riwayat seperti ini.
[3] Isim nakirah jatuh setelah nafyi (negasi), maka menunjukkan arti umum.
[4] Yang menjadi patokan adalah keumuman lafaz, bukan kekhususan sebab.
[5] Disebutkan oleh Dr. Yusuf Qardhawi namun beliau tidak menyebutkan secara jelas riwayat dari siapa tersebut. Yusuf Qardhawi, Fatawa Mu’ashirah, Dar al-Qalam, Beirut, cet.3, 1994, hal. 388.
[6] Ibnu hajar, Op. Cit. Jilid 9, hal 580,
[7] Kisra adalah gelar raja-raja Persia
[8] Muhammad bin Ahmad Ismail, Al-Mar’ah baina takrimil islam wa ihanatil jahiliyyah, Dar Khulafa ar-Rasyidin, cet.1, 2009, hal. 150.
[9] ibid.
[10] Yusuf Qardhawi, Op. Cit. Hal. 388
[11] Mushtafa as-Siba’i, al-Mar’ah baina al-Fiqh wal Qanun, Darus Salam, Kairo, cet. 1, 1998, hal. 29
[12] Muhammad bin Ahmad Ismail, Op. Cit.
[13] ahlul halli wal ‘aqdi adalah majelis syuro, parlemen, dan sejenisnya.
[14] Muhammad Balthaji, Makanah al-Marah fil Quran al-Karim wa as-Sunnah as-Sahihah, Dar Salam, Kairo, 2005, hal. 277
[15] Q.S. At-Taubah: 67
[16] Yusuf Qardhawi, Op. Cit. Hal.372
[17] Q.S At-Taubah: 71
[18] Mustafa as-Siba’i. Op.Cit. hal. 107
[19] Yusuf Qardhawi, Op. Cit. Lihat hal.376-389
[20] Shalah Shawi, Mereka Bertanya Islam Menjawab, aqwam. solo. Hal. 102-103
[21] Muhammad Balthaji, Op. Cit. Hal. 255
[22] Mustafa as-Siba’i. Op.Cit. hal. 107
[23] Muhammad Balthaji, Op. Cit. Hal. 255
[24] Ratna Megawangi, Membiarkan Bebeda, Mizan, Bandung, cet 2, 2011, bab 4 hal 91
[25] Polemik Presiden Wanita – Abu Ubaidah Yusuf As-Sidawi.htm oktober 2010
[26] Q.S An-Naml 23
[27] Yusuf al-Qardhawi, Op. Cit. Hal.377-388
[28] muhammad bin ismail al-bukhari, sahih al bukhari, Alamul Kutub, Beirut, 1986, juz 7, hal 53, kitab an-Nikah, bab shaumi al-mar’ah biizni zaujiha tathawwu’an, no. 5192. Artinya; dari Abu Hurairah berkata; Rasulullah SAW bersabda: “janganlah seorang perempuan puasa sedangkan suaminya berada di rumah kcuali dengan izinnya”. Hadits ini juga terdapat dalam sunan Abu Dawud dengan tambahan redaksi hadits غير رمضان ولا تأذن في بيته وهو شاهد إلا بإذنه, Abu Dawud, Sunan Abu Dawud, jilid 2, hal. 330, no. 2458.  kitab as-Shaum, bab al-Mar’ah tasumu bighair izni Zawjiha, hadits no.5905.  At-Tirmizi, Sunan at-Tirmizi, kitab as-Shaum, bab Ma Ja’a fi Karahiyat Shaumi al--Mar’ah illa biizni Zaujiha. Juz 3. Hal.151, no 782. Ibnu Majah, Sunan Ibn Majah kitab as-Shaum, bab Fi al-Mar’ah Tashumu bighairi Izni Zaujiha. Dar Kutub Ilmiah, Beirut, Juz 1. Hal.560, no 1761
[29] Abu Dawud, Op. Cit.
[30] Asy-syaukani, Naylul Authar, Beirut, 2000, juz 4, hal 328.
[31] Muhammad Shams al-Haqq al-Azhim al-Abadi, Aun al-Ma’bud, Dar al-Hadits, 2001, juz 4 hal. 538-539
[32] As-Syaukani. Op. Cit. Hal 539.
[33] Muslim. Shahih Muslim, Kitab Zakat, bab Bayanu Anna Isma Sadaqah Yaqa’u fi Kulli Nau’in min al-Ma’ruf, juz 2, hal. 697, no. 1006
[34] Ibnu Hibban, bab Zikru Ijabi al-Mar ah iza atha’at zawjaha ma’a iqamati faraidh li Allah Azza wa jalla, juz 9, hal.471. no.4163.
[35] Dwi Sukmanila Sayska, Menjawab Kritikan Feminis dalam Memahami Hadits, karya tulis ilmiah.
[36] Istri Berhak Menolak Hubungan Seks (1) - Pasangan - Keluarga - Tabloidnova.com. 1 Juni 2010. 
[37] Louann Brizendine, The Female Brain, Ufuk, Jakarta, Cet 2, 2007, hal 156-158

0 komentar:

Posting Komentar